Urgensi Penyusunan Naskah Akademik
Dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan
Abstraksi
Pembentukan peraturan perundang-undangan pada dasarnya
harus sesuai dengan beberapa aspek, antara lain aspek sosiologis, aspek
filosofis dan aspek yuridis. Penyusunan naskah akademik sendiri dalam proses
pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia masih bersifat fakultatif
(bukan keharusan). Memang naskah akademik bukan merupakan
keharusan dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, akan tetapi
sebuah naskah akademik sangat dibutuhkan dalam pembentukan atau penyusunan
naskah akademik.
Pendahuluan
Naskah akademik bukan merupakan hal baru dalam
kerangka pembentukan suatu peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pada
tahun 1994, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) mengeluarkan sebuah ketentuan
mengenai Petunjuk Teknis Penyusunan Naskah Akademik. Peraturan
Perundang-Undangan yang di dalamnya terdapat penjelasan nama atau istilah,
bentuk, isi dan kedudukan serta format dari Naskah Akademik.
Di dalam Keputusan Presiden (Keppres) No.108 Tahun
1998 tentang Tata Cara Menyiapkan Rancangan Undang-Undang, istilah Naskah
Akademik disebut “Rancangan Akademik”. Sedangkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, secara eksplisit tidak
mengatur tentang Naskah Akademik, namun disebutkan mengenai keterlibatan pihak
lain di luar lembaga legislatif dan eksekutif dalam setiap penyusunan
sebuah peraturan perundang-undangan yang disebut sebagai partisipasi masyarakat.
Pelembagaan Naskah Akademik ”muncul” secara tegas
dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Peraturan Pengganti Undang-Undang,
Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden. Di dalam
Pasal 5 ayat (1) dan (2) Perpres Nomor 68 Tahun 2005 tersebut dikatakan
bahwa keberadaan naskah akademik dalam penyusunan peraturan perundang-undangan
di Indonesia bukan merupakan sebuah kewajiban/keharusan yang harus dilakukan dalam
rangka penyusunan peraturan perundang-undangan, termasuk Peraturan Daerah.
Sehingga, kedudukan sebuah naskah akademik bisa dianggap hanya sebagai
”pendukung” penyusunan peraturan perundang-undangan.
Seiring
dengan perkembangan dan perubahan dinamika kehidupan masyarakat Indonesia,
urgensi sebuah naskah Akademik dalam proses penyusunan peraturan
perundang-undangan yang tepat guna, komprehensif dan sesuai dengan asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan, menjadi sangat penting.
Dalam penyusunan sebuah peraturan perundang-undangan,
termasuk Peraturan Daerah, naskah akademik sangat diperlukan dalam rangka
pembentukan rancangan undang-undang. Tujuannya antara lain adalah agar
undang-undang yang dihasilkan sejalan dengan sistem hukum nasional, sesuai
dengan (tuntutan) kehidupan masyarakat, dan dapat meminimalisir permasalahan
dikemudian hari.
Pengertian Naskah Akademik Peraturan
Perundang-undangan
Di dalam ilmu perundang-undangan, naskah akademik
merupakan prasyarat untuk menyusun rancangan peraturan perundang-undangan.[1] Pemakaian istilah Naskah Akademik
peraturan perundang-undangan secara baku digulirkan tahun 1994 melalui
Keputusan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) No. G.159.PR.09.10 tahun
1994 tentang petunjuk teknis penyusunan naskah akademik peraturan
perundang-undangan, dikemukakan bahwa naskah akademik peraturan
perundang-undangan adalah naskah awal yang memuat pengaturan materi-materi
perundang-undangan bidang tertentu yang telah ditinjau secara sistemik,
holistik dan futuristik.
Sebelumnya
berbagai istilah mengenai naskah akademik peraturan perundang-undangan ini
bermunculan, seperti istilah naskah rancangan undang-undang, naskah ilmiah
rancangan undang-undang, rancangan ilmiah peraturan perundang-undangan, naskah
akademis rancangan undang-undang, academic draft penyusunan peraturan
perundang-undangan.[2]
Dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 68 Tahun 2005 tentang tata cara
mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, Rancangan Peraturan Presiden,
dalam Pasal 1 angka 7 disebutkan bahwa :
”Naskah Akademik adalah naskah yang
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar
belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup,
jangkauan, objek, atau arah pengaturan rancangan undang-undang.”
Di dalam
Pasal 5 ayat 1 Perpres Nomor 68 Tahun 2005 menyebutkan :
”Pemrakarsa dalam menyusun rancangan
undang-undang dapat terlebih dahulu menyusun naskah akademik mengenai materi
yang akan diatur dalam rancangan undang-undang”
Pasal 5 ayat 2 Perpres Nomor 68
Tahun 2005 menyebutkan :
”Penyusunan Naskah Akademik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pemrakarsa bersama-sama
dengan departemen yang tugas dan tanggungjawabnya dibidang peraturan
perundang-undangan dan pelaksanaannya dapat diserahkan kepada perguruan tinggi
atau pihak ketiga lainnya yang mempunyai keahlian untuk itu.”
Keputusan
Presiden (Keppres) Nomor 188 Tahun 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan
Rancangan Undang-Undang menyebutkan istilah Naskah Akademik disebut dengan
Rancangan Akademik. Dalam Pasal 3 ayat (1) disebutkan :
”Menteri atau pimpinan lembaga
pemrakarsa penyusunan rancangan undang-undang dapat pula terlebih dahulu
menyusun rancangan akademik mengenai rancangan undang-undang yang akan
disusun.”
Namun dalam
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, secara eksplisit tidak mengatur mengenai Naskah Akademik
sebelum penyusunan suatu peraturan perundang-undangan. Namun, di dalam
Undang-Undang tersebut disebutkan mengenai keterlibatan pihak lain di luar
lembaga legislatif dan eksekutif dalam penyusunan sebuah peraturan
perundang-undangan, yang dalam hal ini disebut dengan partisipasi masyarakat.
Pasal 53 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 menyebutkan :
”Masyarakat berhak memberikan
masukan secara lisan dan tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan
rancangan undang-undang atau rancangan peraturan daerah.”
Dalam hal ini partisipasi masyarakat dalam penyusunan
sebuah peraturan perundang-undangan bisa diinterpretasikan sebagai bentuk keterlibatan
masyarakat yang wujud nyatanya berupa penyusunan Naskah Akademik.
Dengan tidak ”diaturnya” naskah akademik secara
eksplisit di dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tersebut, maka ketentuan
Keppres Nomor 188 Tahun 1998 Pasal 3 ayat (1) masih berlaku. Hal itu
dikarenakan, dalam Pasal 57 huruf c Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004
ditentukan bahwa peraturan perundang-undangan lain yang ketentuannya telah
diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku. Akibat Naskah
Akademik tidak diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, maka ketentuan
yang mengatur Naskah Akademik di dalam Keppres Nomor 188 Tahun 1998 tetap
berlaku.[3]
Menurut Aan Eko Widiarto dalam makalahnya tentang Naskah
Akademik Sebagai Pendukung Pembentukan rancangan Produk Perundang-undangan
Daerah, mengatakan bahwa naskah akademik dapat diartikan sebagai konsepsi
pengaturan suatu masalah (obyek perundang-undangan) secara teoritis dan
sosiologis. Naskah Akademik secara teoritik mengakaji dasar filosofis, dasar
yuridis dan dasar politis suatu masalah yang akan diatur sehingga mempunyai
landasan pengaturan yang kuat.[4]
Menurut Harry Alexander dalam bukunya Panduan
Perancangan Perda di Indonesia, memberikan definisi tentang Naskah Akademik
bahwa Naskah Akademik adalah naskah awal yang memuat gagasan-gagasan pengaturan
dan materi muatan perundang-undangan bidang tertentu disebut Naskah Akademik
Peraturan Perundang-Undangan[5]
Definisi lainnya dari sebuah naskah akademik,
dikemukakan oleh Jazim Hamidi[6]
bahwa naskah akademik ialah naskah atau uraian yang berisi penjelasan tentang :
1.
Perlunya sebuah peraturan harus dibuat;
2.
Tujuan dan kegunaan dari peraturan yang akan dibuat;
3.
Materi-materi yang harus diatur peraturan tersebut;
4.
Aspek-aspek teknis penyusunan;
Naskah Akademik paling sedikit memuat dasar filosofis,
sosiologis, yuridis, pokok dan lingkup materi yang diatur. Dasar
filosofis merupakan
landasan filsafat atau pandangan yang menjadi dasar cita-cita sewaktu
menuangkan suatu masalah ke dalam peraturan perundang-undangan. Dasar filosofis
sangat penting untuk menghindari pertentangan peraturan perundang-undangan yang
disusun dengan nilai-nilai yang hakiki dan luhur di tengah-tengah masyarakat,
misalnya etika, adat, agama dan lain-lain. Dasar yuridis ialah ketentuan hukum yang menjadi
dasar bagi pembuatan peraturan perundang-undangan. Dasar yuridis ini terdiri
dari dasar yuridis dari segi formil dan dasar yuridis dari segi materiil [7]. Dasar yuridis dari segi formil adalah
landasan yang berasal dari peraturan perundang-undangan lain untuk memberi
kewenangan bagi suatu instansi membuat aturan tertentu. Sedangkan dasar yuridis
dari segi materiil yaitu dasar hukum yang mengatur permasalahan (obyek) yang
akan diatur. Dengan demikian dasar yuridis ini sangat penting untuk memberikan
pijakan pengaturan suatu peraturan perundang-undangan agar tidak terjadi
konflik hukum atau pertentangan hukum dengan peraturan perundang-undangan di
atasnya. Dasar politis, menurut Sony Lubis, sebagaimana dikutip oleh Aan Eko
Widiarto dalam makalahnya ”Penyusunan Naskah Akademik”, mengatakan bahwa dasar
politik merupakan kebijaksanaan politik yang menjadi dasar selanjutnya bagi
kebijakan dan pengarahan ketatalaksanaan pemerintahan. Diharapkan dengan adanya
dasar politis ini maka produk hukum yang diterbitkan dapat berjalan sesuai
dengan tujuan tanpa menimbulkan gejolak di tengah-tengah masyarakat.
Secara dasar sosiologis, naskah akademik disusun dengan
mengkaji realitas masyarakat yang meliputi kebutuhan hukum masyarakat, aspek
sosial ekonomi dan nilai-nilai yang hidup dan berkembang (rasa keadilan
masyarakat). Tujuan kajian sosiologis ini adalah untuk menghindari
tercerabutnya peraturan perundang-undangan yang dibuat dari akar-akar sosialnya
di masyarakat. Banyaknya peraturan perundang-undangan yang setelah diundangkan
kemudian ditolak oleh masyarakat, merupakan cerminan peraturan
perundang-undangan yang tidak memiliki akar sosial yang kuat.
Dengan demikian dalam proses penyusunan peraturan
perundang-undangan tidak boleh dilakukan secara pragmatis dengan langsung
menuju pada penyusunan pasal demi pasal tanpa kajian atau penelitian yang
mendalam. Peraturan perundang-undangan yang dibentuk tanpa pengkajian teoritis
dan sosiologis yang mendalam akan cenderung mewakili kepentingan-kepentingan
pihak-pihak tertentu, sehingga ketika diterapkan di dalam masyarakat yang
terjadi adalah penolakan-penolakan. Masyarakat merasa tidak memiliki atas suatu
peraturan perundang-undangan sebagai akibat pembentukannya tidak partisipatif
dengan mengikutsertakan dan meminta pendapat masyarakat.
Urgensi Naskah Akademik Peraturan perundang-undangan
Sebagaiamana dikemukakan di atas, penyusunan naskah
akademik dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia
masih bersifat fakultatif (bukan keharusan). Hal ini bisa dilihat di dalam
Pasal 3 ayat (1) Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 188 Tahun 1998 tentang Tata
Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, di mana disebutkan bahwa :
”Menteri atau pimpinan lembaga
pemrakarsa penyusunan rancangan undang-undang dapat pula terlebih dahulu
menyusun rancangan akademik mengenai rancangan undang-undang yang akan
disusun.”
Penggunanan rumusan ”dapat pula” tersebut mengandung
makna tidak harus, sehingga Menteri atau pimpinan lembaga pemrakarsa penyusunan
rancangan undang-undang dapat tidak menyusun naskah akademik. Selain itu dalam
Pasal 3 ayat (1) tersebut hanya diatur penyusunan naskah akademik untuk rancangan
undang-undang sehingga beberapa jenis peraturan perundang-undangan yang lain
seperti Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Pemerintah PP), Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu), tidak terikat ketentuan pasal
tersebut.
Sedangkan
berdasarkan Peraturan Presiden republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2005 tentang
Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program legislasi Nasional, Pasal 13
diatur bahwa :
”Naskah akademik wajib disertakan
dalam penyampaian perencanaan pembentukan rancangan undang-undang dalam hal
Menteri lain atau pimpinan lembaga Pemerintah Non Departemen telah menyusun
naskah akademik rancangan undang-undang.”
Pengaturan ini membawa konsekuensi yuridis bahwa
apabila menteri lain atau pimpinan lembaga pemerintah non departemen tidak atau
belum menyusun naskah akademik tidak wajib disertakan dalam penyampaian
perencanaan pembentukan rancangan undang-undang. Pengaturan ini sejalan dengan
Pasal 16 ayat (2) yang menentukan dalam hal konsepsi rancangan undang-undang
tersebut disertai dengan naskah akdemik, maka naskah akademik dijadikan bahan
pembahasan dalam forum konsultasi. Konsekuensiyuridis Pasal 16 ayat (2) ini
juga berupa tidak adanya kewajiban menyertakan naskah akademik dalam pembahasan
di forum konsultasi.[8]
Sedangkan
dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Peraturan Pengganti Undang-Undang,
Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Peraturan Presiden dikatakan bahwa
keberadaan naskah akademik dalam penyusunan peraturan perundang-undangan di
Indonesia bukan merupakan sebuah kewajiban/keharusan yang harus dilakukan dalam
rangka penyusunan atau pembentukan
peraturan
perundang-undangan.
Dalam konteks otonomi daerah, amandemen UUD 1945 juga
memberikan peluang yuridis bagi daerah untuk menetapkan peraturan daerah dan
peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah juga menentukan
keleluasaan yang besar bagi daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri.
Kewenangan yang luas tersebut tentunya harus dipahami untuk menuju
kesejahteraan dan keadilan sosial bersama sehingga produk perundang-undangan
yang berorientasi pada kepentingan masyarakat. Dengan demikian untuk
kepentingan masyarakat maka masyarakat harus diajak bersama-sama dalam
merumuskan rancangan peraturan perundang-undangan di daerah, tanpa
mengesampingkan keberadaan wakil-wakil rakyat di DPRD. Perlu adanya kesinambungan
peran antara masyrakat dengan DPRD karena pada kenyataannya wakil-wakil rakyat
di DPRD belum (tidak mampu) mewakili seluruh aspirasi masyarakat yang sangat
dinamis. Sehingga diperlukan kearifan bersama baik Pemerintah Daerah,
DPRD dan masyarakat dalam membuat peraturan perundang-undangan di daerah dengan
menyusun naskah akademik sebelum merancang peraturan daerah.
Fungsi
naskah akademik menurut Harry Alexander, seperti yang dikutip oleh Mahendra
Putra Kurnia dkk, dalam bukunya Pedoman Naskah Akademik PERDA Partisipatif,
terbitan Kreasi Total media Yogyakarta, hlm. 31, mengatakan bahwa kedudukan
naskah akademik merupakan :
1.
bahan awal
yang memuat gagasan-gagasan tentang urgensi, pendekatan, luas lingkup dan
materi muatan suatu peraturan daerah;
2.
Bahan
petimbangan yang dipergunakan dalam permohonan izin prakarsa penyusunan
Raperda/Rancangan Produk Hukum Daerah lainnya kepada Kepala Daerah;
3.
Bahan dasar
bagi penyusunan Raperda /Rancangan Produk Hukum Daerah lainnya;
Sedangkan menurut Sony Maulana S,[9]
yang dengan menggunakan istilah Rancangan Akademik mengemukakan, terdapat 3
(tiga) fungsi dari Rancangan Akademik, yaitu :
1.
Menginformasikan
bahwa perancang telah mempertimbangkan berbagai fakta dalam penulisan Rancangan
Peraturan Daerah;
2.
Memastikan
bahwa perancang menyusun fakta-fakta tersebut secara logis;
3.
Mernjamin
bahwa rancangan Peraturan Daerah lahir dari proses pengambilan keputusan yang
berdasarkan logika dan fakta.
Pada dasarnya, naskah akademik bukan merupakan
keharusan dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, akan tetapi
sebuah naskah akademik sangat dibutuhkan dalam pembentukan atau penyusunan
naskah akademik. Urgensi dari sebuah naskah akademik dalam proses pembentukan
atau penyusunan sebuah naskah akademik antara lain:
1.
Naskah
akademik merupakan media nyata bagi peran serta masyarakat dalam proses
pembentukan atau penyusunan peraturan perundang-undangan bahkan inisiatif
penyusunan atau pembentukan naskah akademik dapat berasal dari masyarakat;
2.
Naskah
akademik akan memaparkan alasan-alasan, fakta-fakta atau latar belakang masalah
atau urusan sehingga hal yang mendorong disusunnya suatu masalah atau urusan
sehingga sangat penting dan mendesak diatur dalam suatu peraturan
perundang-undangan. Aspek-aspek yang perlu diperhatikan adalah aspek ideologis,
politis, budaya, sosial, ekonomi, pertahanan dan keamanan. Manfaatnya adalah
dapat mengetahui secara pasti tentang mengapa perlu dibuatnya sebuah peraturan
perundang-undangan dan apakah peraturan perundang-undangan tersebut memamng
diperlukan oleh masyarakat;
3.
Naskah
akademik menjelaskan tinjauan terhadap sebuah peraturan perundang-undangan dari
aspek filosofis (cita-cita hukum), aspek sosiologis (nilai-nilai yang hidup
dalam masyarakat), aspek yuridis (secara vertikal dan horizontal tidak
bertentangan dengan peraturan-peraturan yang telah ada sebelumnya) dan aspek
politis (kebijaksanaan politik yang menjadi dasar selanjutnya bagi
kebijakan-kebijakan dan tata laksana pemerintahan). Kajian
filosofis akan
menguraikan mengenai landasan filsafat atau pandangan yang menjadi dasar
cita-cita sewaktu menuangkan suatu masalah ke dalam peraturan
perundang-undangan. Untuk kajian yuridis, merupakan kajian yang memberikan dasar hukum bagi dibuatnya
suatu peraturan perundang-undangan, baik secara yuridis formal maupun yuridis
materiil, mengingat dalam bagian ini dikaji mengenai landasan hukum yang
berasal dari peraturan perundang-undangan lain untuk memberi kewenangan bagi
suatu instansi membuat aturan tertentu dan dasar hukum untuk mengatur
permasalahan (objek) yang akan diatur. Kajian sosiologis menjelaskan peraturan dianggap
sebagai suatu peraturan yang efektif apabila tidak melupakan bagaimana
kebutuhan masyarakat, keinginan masyarakat, interaksi masyarakat terhadap
peraturan tersebut. Sehingga dalam kajian ini realitas masyarakat yang meliputi
kebutuhan hukum masyarakat, kondisi masyarakat dan nilai-nilai yang hidup dan
berkembang (rasa keadilan masyarakat.;[10]
Kajian politis pada
prinsipnya mengedepankan persoalan kepentingan dari pihak terkait (pemerintah
dan masyarakat) melalui kekuatan masing-masing pihak, oleh karena itu naskah
akademik berperan menjadi sarana memadukan kekuatan-kekuatan para pihak
tersebut, sehingga diharapkan perpaduan tersebut menjadi sebuah kebijaksanaan
politik yang kelak menjadi dasar selanjutnya bagi kebijakan-kebijakan dan
pengarahan ketatalasanaan pemerintahan;
4.
Naskah
Akademik memberikan gambaran mengenai substansi, materi dan ruang lingkup dari
sebuah peraturan perundang-undangan yang akan dibuat. Dalam hal ini dijelaskan
mengenai konsepsi, pendekatan dan asas-asas dari materi hukum yang perlu
diatur, serta pemikiran-pemikiran normanya;
5.
Naskah
Akademik memberikan pertimbangan dalam rangka pengambilan keputusan bagi pihak
eksekutif dan legislatif pembentukan peraturan perundang-undangan tentang
permasalahan yang akan dibahas dalam naskah akademik.
Saat ini kecenderungan pandangan masyarakat yang
menempatkan perundang-undangan sebagai suatu produk yang berpihak pada
kepentingan pemerintah (politik) semata sehingga dalam implementasinya
masyarakat tidak terlalu merasa memiliki dan menjiwai perundang-undangan
tersebut. Oleh karena itu, Naskah Akademik diharapkan bisa digunakan sebagai
instrumen penyaring, menjembatani dan upaya meminimalisir unsur-unsur
kepentingan politik dari pihak pembentuk peraturan perundang-undangan, di mana
Naskah Akademik yang proses pembuatannya dengan cara meneliti, menampung dan
mengakomodasi secara ilmiah kebutuhan, serta harapan masyarakat, maka
masyarakat merasa memiliki dan menjiwai perundang-undangan tersebut.
Keberadaan naskah akademik dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan sebenarnya sangat strategis dan merupakan kebutuhan yang
tidak dapat dihindarkan apabila membentuk peraturan perundang-undangan yang
baik. Hal ini disebabkan dalam perkembangan ketatanegaraan Indonesia secara
yuridis masih belum banyak aturan hukum yang lengkap untuk mengatur segala hal.
Sementara arus perubahan yang diinginkan masyarakat sangat kuat khususnya
terhadap produk peraturan perundang-undangan yang responsif dan aspiratif.
Masyarakat lebih banyak menuntut keberadaan suatu peraturan perundang-undangan
bukanlah kehendak penguasa belaka. Namun perlu adanya ruang-ruang publik yang
memungkinkan aspirasi rakyat terakomodasi dalam penyusunan substansi peraturan
perundang-undangan. Dengan naskah akademik, maka ruang-ruang publik
(masyarakat) tersebut sangat terbuka dan masyarakat bebas mengeluarkan aspirasi
serta melakukan apresiasi terhadap substansi peraturan perundang-undangan yang
akan dan sedang diatur.
DAFTAR PUSTAKA
Aan Eko Widiarto, ”Metode dan Tekhnik Penyusunan Naskah Akademik”, Dosen Legal Drafting Universitas
Brawijaya, sumber www.legalitas.org.
Abdul Wahid, ”Penyusunan Naskah Akademik”, artikel perundang-undangan,
sumber www.legalitas.org
CST. Kansil, Christine ST. Kansil, Memahami Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004), PT. Pradnya Paramita, Jakarta,
Cetakan Pertama, 2007.
Maria Farida
Indrati, “Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-undangan Di
Indonesia”, artikel
peraturan perundang-undangan, www.legalitas.org
Muhammad Waliyadin, “Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan dalam Perspektif Pemerintah”, artikel
peraturan perundang-undangan, www.legalitas.org
Mahendra putra Kurnia, Purwanto, Emilda Kuspraningrum, Ivan Zairani Lisi, Pedoman Naskah Akademik PERDA Partisiptif (Urgensi, Strategi, dan Proses
bagi Pembentukan Perda yang Baik), Kreasi Total Media (KTM), Yogyakarta, Cetakan Pertama, Juni 2007
Qomaruddin, ”Dasar-Dasar Konstitusional
Peraturan perundang-undangan”, artikel peraturan
perundang-undangan, www.legalitas.org
Wicipto Setiadi, “Pemantapan Pengelolaan Proses Perumusan Kebijakan Publik dan
peraturan Perundang-undangan”, artikel peraturan perundang-undangan, www.legalitas.org
[1] Aan Eko Widiarto, SH., MHum., “Metode dan
Teknik Penyusunan Naskah Akademik ”, makalah, www.legalitas.org.
[2] Abdul Wahid, SH., M.Hum, “Penyusunan
Naskah Akademik”, makalah, www.legalitas.org
[3] Aan Eko Widiarto, SH., MHum. Op. Cit., hlm. 5
[4] Mahendra Putra Kurnia dkk, Pedoman
Naskah Akademik PERDA Partisipatif ( Urgensi, Strategi, dan Proses Bagi
Pembentukan Perda yang baik ), Kreasi Total Media (KTM), Yogyakarta, cetakan pertama, Juni
2007, hlm. 30
[7] Aan Eko Widiarto, SH., M.Hum. Op. Cit., hlm. 2
[8] Aan Eko Widiarto, SH., MHum. Op. Cit., hlm. 5-6
[9] Mahendra Putra Kurnia dkk., Op. Cit.hlm. 31
[10] Mahendra Putra Kurnia dkk., Op. Cit.hlm. 53
di kutip dari : http://ekorial.staff.uii.ac.id